Monday, February 18, 2008

Profil Soke Kiyotada Sannosuke Ueshima


Pendiri KUSHIN RYU Karate Do adalah Kiyotada Sannosuke Ueshima yang lahir pada tahun 1893 di wilayah Hyogo (Kobe) , di Kota Akou - Jepang.
Setelah berusia 3 tahun ia mulai belajar seni beladiri (aliran Konshin Yujoyutsu) di Akademi Matsubara di Kota Akou dibawah bimbingan guru Kiyotaka Kajei Matsubara.

Menginjak usia 9 tahun ia mulai mengenal Tuan Sugaya atau Jigaya. Seorang pegawai kepolisian di kota Akou, ia seorang penduduk asli Okinawa. Dari dialah Ueshima mulai belajar bentuk-bentuk Karate Kata Channan dan Kata Kushanku (Kata Channan merupakan dasar Kata Pian yang diciptakan Ankou Itosu , salah satu kata orisinil yang dikembangkan dan dirubah menjadi KATA PIAN).

Pada tahun 1918, saat berusia 25 tahun, Ueshima menerima gelar secara serempak sebagai ahli aliran Konshin Yujoyitsu dari tangan Guru Matsubara dan guru Guikyo Masazi Akada sebagai Guru terakhirnya dan juga guru dari Matsubara sendiri.

Kemudian, Ueshima pindah ke kota Osaka, disana ia mulai membuka Akademi Konshin – Ryu Yujoyitsu.

Pada dekade awal abad ke 20, beberapa guru karate tiba di Okinawa di kota Osaka, bersama-sama mereka, Ueshima mempelajari dan mempraktikan cabang beladiri ini .

Mereka adalah :

1, Choki Motobu, mengajar Aliran Tomari-Ja .
2, Kanamori Kinzyo, mengajar aliran Shorin and Goju.
3, Choshin Chibana, pendiri dan guru aliran Shorin .

Pada tahun 1932 Ueshima mendirikan Aliran Karate Kushin Ryu, ini merupakan hasil dari penggabungan aliran Konshin-Ryu Yujoyitsu dengan unsur-unsur Karate yang ia tambahkan didalamnya.

Pada tahun 1895 Organisasi Beladiri Jepang yang pertama didirikan disebut Dai Nippon Butokukai (Great Japan Martial Virtue Association).

Pada tahun 1933, Ueshima menerima gelar Guru JUDO (KYOSHI) dari Association of Martial Virtue of the Great Japan.

Juga pada tahun 1935 dan untuk pertama kalinya di Jepang, Dewan Asosisasi Beladiri Jepang yang terhormat menganugerahi dia gelar Guru Karate (KYOSHI) dengan dua orang lainnya. Para guru yang menerima tanda kehormatan pada kesempatan itu adalah :

1, Choyun Miyagi ( Pendiri aliran Goju )
2, Kiyotada Sannosuke Ueshima ( Pendiri Aliran Kushin )
3, Yasuhiro Konishi ( Pendiri Aliran Shindo Shizen)

Pada tahun 1946 akhir yaitu perang Dunia ke II terjadi pembubaran Dai Nippon Butokukai (Great Japan Martial Virtue Association)

Pada tahun 1965, beliau menerima gelar Dan 8 Judo Kodokan, Guru Kanamori Kinzyo , guru aliran Shorin dan Goju dan Guru karate Ueshima, kembali ke Okinawa disana dan ia mengembangkan Aliran Kushin.

Pada tahun 1940 Guru Kinzyo menerima gelar Guru Karate (RENSHI) dari Dai Nippon Butokukai (Great Japan Martial Virtue Association)

Pada tanggal 6 September 1987, pada usia 94 tahun, Kiyotada Sannosuke Ueshima, pendiri Kushin Ryu, meninggalkan para murid untuk selama-lamanya di kota Osaka. Saat ini President (Soke) kedua Kushin Ryu saat ini dipimpin oleh Ph. Dr HORYUU MATSUZAKI.


(english version)

His founder was teacher KIYOTADA SANNOSUKE UESHIMA, born in 1893 in the prefecture of Hyogo (Kobe), in the city of Akou. To the three years he began practices it of the martial arts (Jujitsu, Style Konshin Yujoyitsu) in the Academy of Matsubara of the city of Akou, being his professor Kiyotada Kajei Matsubara. At the age of nine years he knew Mr. Sugaya or Jigaya, a police of the city of Akou, that was native of the city of Okinawa. With he learned and practice the forms of Karate Kata Channan and Kata Kushanku (the Kata Channan is the base of the Kata Pian being the teacher Ankou Itosu the one that improve and change the original Kata becoming the Kata Pian). In 1918, to the 25 years of age, Ueshima received title of professional of the Style Konshin Yujoyitsu of hands of professor Matsubara and of professor Guikyo Mazai Akada, being this complete his professor and of professor Matsubara simultaneously. Later, Ueshima transfer to the city of Osaka, where it opened the academy Konshin-Ryu Yujoyitsu, as like a traumatologŁŠa doctor's office. In the decade one of the 20, several teachers of Karate arrived from Okinawa at the city of Osaka, and with them the Ueshima teacher practice this branch of the martial arts. Their professors were: Choki Motobu, that taught the Tomari-Ja style. Kanamori Kinzyo, that taught the styles Shorin and Goju. Choshin Chibana, founder and professor of the Shorin style. In 1932 the Ueshima teacher found the style of Karate Kushin Ryu, result of the union of the Konshin-Ryu with elements of the Karate that the teacher add. On 1895 the first organization of martial art of Japan had been based, call Association of Martial Virtue of the Great Japan. In 1933 the Ueshima teacher received title of professor of Judo (KYOSHI) of the Association of Martial Virtue of the Great Japan. Also in 1935 and for the first time in Japan, the mentioned Association of Martial Virtue of the Great Japan conferred to him title jointly of professor of Karate (KYOSHI) with other two professors. The teachers who received such distinction in that opportunity were: Choyun Miyagi (Founding of the Goju style) Kiyotada Sannosuke Ueshima (founding of the Kushin style) Yasuhiro Konishi (Founding of the style Shindo Shizen) In 1946, to finish of World War II took place the dissolution of the Association of Martial Virtue of the Great Japan. In 1965, the teacher received title of Eighth Give of Judo Kodokan. The teacher Kanamori Kinzyo, professor of the styles Shorin and Goju and professor of Karate of the Ueshima teacher, return to its native Okinawa where he spread the Kushin style. In 1940 the Kinzyo teacher received title of professor of Karate (Renshi) of the Association of Martial Virtue of the Great Japan. The 6 of September of 1987, to the 94 years of age, the teacher Kiyotada Sannosuke Ueshima, founder of the Kushin style, slept the dream of the eternity in the city of Osaka. The second President(Soke) of the Kushin style is Ph. Dr HORYU MATSUZAKI - (translated by yandi -2005)

Falsafah Karate


FILOSOFI HORYU MATSUZAKI

Pendekar, atau sebut saja jago karate tak harus selalu tampil garang. Kalau enggak percaya, silakan tanya Horyu Martsuzaki (67), guru besar Kushin-Ryu Karate-Do, yang punya 1,2 juta murid di 27 provinsi di seluruh Indonesia. "Karate itu seperti celana dalam," ujarnya mengejutkan.

Penulis : Christantiowati

Enggak, Anda tidak salah dengar. Karate memang bak pakaian dalam. Maksudnya, dia melekat pada diri, tapi tak pantas terlihat, apalagi sengaja diperlihatkan. Orang mempelajari ilmu bela diri justru agar tak tampak galak. Di keseharian, ada dua gaya hidup seni bela diri. Pertama, yang mementingkan peningkatan ilmu untuk memahami hakikat hidup dan mencapai jatidiri tertinggi sehingga bersikap rendah hati, dan sebaliknya, yang berniat memanfaatkan ilmu untuk memburu "nama baik" dan nama besar.
"Siapa saja yang ingin menguasai karate, pertama dan terpenting tak iri hati, berburuk sangka, mesti selalu rendah hati, pemurah, berperilaku baik, memelihara ketenangan spiritual, berusaha keras menjadi teladan bagi semua," saran sang sensei yang juga punya murid di Australia, Paraguay, Uruguay, Chile, Argentina, Panama, Timor Leste, Singapura, Malaysia, Jepang, Korea ini.
Saran bijak tadi tertuang di sampul bukunya, Perjuangan Hidup: Hakikat Kushin-Ryu Karate-Do (Primamedia Pustaka, 2006). Sesuai makna karate-do, karate (dasar tangan kosong), do (harus selalu ingat belajar kemanusiaan).
Penguasaan ilmu karate oleh orang tanpa mental mantap bisa fatal. Bila sebatas teknik pukulan dan serangan, itu baru kulitnya. Inti terdalam berarti mempelajari hidup dan manusia itu sendiri. Karate mengenalkan 100 titik lemah tubuh manusia, 44 di antaranya terlemah. Titik lemah berada di pusat otot, daging, pembuluh darah dan saraf. Jika ditinju atau ditendang karate-ka berketerampilan tinggi, bisa meninggal.
Karena tahu betapa berbahayanya titik lemah, bagian ini malah jarang sekali diserang. Kalahkan lawan dengan tenaga seminimal mungkin. Mengalahkan lawan itu penting, tapi menciptakan keadilan dalam bertanding itu lebih penting.
Karate menjembatani penempaan semangat dan jiwa untuk menemukan hakikat watak kita sendiri. Jika tak mengenali diri sendiri, kita tak dapat mengenali musuh. Jadi, pendekar sejati itu menguasai diri sendiri. Kekuatan yang sesungguhnya tak hanya membuat lawan takut tapi juga memberi kesegaran bagi lawan yang dikalahkan. Lawan mengakui kehebatan kita dengan hormat. Lawan tak ingin lagi menyerang. Kita menang tanpa diserang, tanpa perlu melawan.
"Saya belajar karate sejak sembilan tahun. Sampai kini merasa belum benar-benar menguasai intinya. Ini pelajaran sampai mati. Tiada guna banyak ilmu tanpa diterapkan. Dalam karate ada siasat, pura-pura tak kuat supaya lawan lengah, kita menang. Jadi di keseharian, karate membekali raga terlatih, pikiran terjaga. Sesekali marah, gusar, itu wajar. Tapi sebentar saja. Ini proses. Sewaktu muda saya juga sering marah, menggugat Tuhan, ha…ha…. Tapi makin berumur, kita mesti makin bijak. Seperti padi. Makin berisi makin merunduk."


Selaras dengan Alam
Leluhur Jepang menganggap manusia sebagai miniatur alam semesta. Kepala = langit; hidung = gunung; kaki = tanah; mata = matahari & bulan; darah = sungai. Sebagaimana air sungai jadi keruh karena hujan deras dan banjir, darah manusia mengeruh karena perasaan tak stabil hingga merusak kesehatan. Bangsa Jepang sangat dipengaruhi faktor alam dalam mencapai tingkat kehidupan lebih tinggi. Ini mencakup peralihan musim dan berbagai gangguan alam yang justru menuntut bangsa itu bekerja lebih keras untuk mempertahankan dan mengembangkan aneka bentuk kemajuan.
Hijau itu mendamaikan. Lihat saja Indonesia yang alamnya (dulu) sangat hijau, penduduknya 'kan banyak senyum dan tertawa. Bandingkan dengan bangsa-bangsa yang tinggal di gurun dan padang pasir, mereka keras sesuai alamnya, ribut melulu. Jepang yang empat musim juga gelap. Saya senang Indonesia.

Belajar dari Sakura
Karateka bisa rusak atau kalah jika melakukan kesalahan dalam pernapasan, selain percaya diri berlebihan. Belajar karate mesti terbuka dan luwes untuk memaksimalkan potensi dalam mencari dan menemukan teknik baru. Misalnya, alat pemukul bisa pula berfungsi sebagai pemberat 'kan? Teknik bukan benda mati tapi lebih seperti makhluk hidup. Tak boleh bersikap tertutup dan kaku dalam proses mempertajam perasaan dan kepekaan. Sayangilah orang lain dengan sopan santun. Kalau tak menghormati orang berarti tak percaya diri.
Hati yang pantang menyerah merupakan syarat mutlak memenangkan pertandingan. Pertandingan seperti hidup itu sendiri, penuh ketakpastian. Jalani saja di rel etika yang benar. Jiwa tenang, pemusatan pikiran meningkat, yakinlah, semuanya akan berakhir baik. Keberhasilan seseorang sangat ditentukan kepuasan hati. Seperti bunga sakura, saat mekar tanpa pamrih, tanpa beban apa pun, dengan ketulusan dalam memberikan kepuasan dan kekaguman pada tiap orang untuk menikmatinya. Gugurnya bunga sakura akan sangat disayangkan banyak orang. Hidup Sakura itu bak cermin keberhasilan seseorang. Begitu kita mati, orang merasa kehilangan.

Source : Intisari