SEORANG peserta Women Self Defense Kushin Ryu (WSDK) berlatih di kediaman instruktur Kushin Ryu Jln. Kopo Citarip Timur II, Kel. Situsaeur, Kec. Bojongloa, Kota Bandung, Minggu (10/8). Seiring peningkatan jumlah kriminalitas, WSDK kian diminati wanita di Kota Bandung.* LINA NURSANTY/"PR"
Pikiran Rakyat - Selasa, 12 Agustus 2008
OLAH raga karate kental dengan aroma maskulinitas. Meski kini banyak atlet wanita, tetapi kesan angker terhadap olah raga ini masih lekat di benak wanita. Padahal, olah raga tersebut bisa melindungi wanita yang sering menjadi sasaran empuk tindakan kekerasan. Di tempat-tempat umum, kendaraan umum seperti angkot dan bus, di tempat kerja, bahkan di lingkungan rumah tangga. Kekerasan yang mengancam wanita itu berupa kekerasan fisik, pelecehan seksual, dan kekerasan psikis.
Tindak kekerasan yang paling menggemparkan di Bandung yaitu terbunuhnya dua mahasiswi Sekolah Tinggi Kesehatan (Stikes) Ahmad Yani, Cimahi oleh perampok dalam angkutan umum, pada tahun 2004.
Peristiwa itu memotivasi seorang Suhu Karate Kushin Ryu dari Kota Bandung, Sofyan Hamballi (59) melahirkan 10 gerakan praktis bagi wanita untuk membela diri dalam situasi mengancam.
Kesepuluh gerakan praktis ini dikembangkan dari gerakan-gerakan karate dan dinamai Women Self Defense Kushin Ryu (WSDK). Bedanya, teknik gerakan ini diperuntukkan bagi wanita yang belum pernah sama sekali memiliki keahlian teknik bela diri. Untuk menguasai 10 gerakan dasar ini, para wanita wajib mengikuti lima kali pelatihan praktis.
"Selama ini, wanita selalu diposisikan sebagai kaum lemah. Padahal, wanita punya banyak kelebihan. Ketika dia mendapat perlakuan tidak baik, biasanya hanya bisa menangis. Tetapi, dengan teknik ini kita diajarkan untuk berani," ujar salah seorang peserta WSDK, Eli Rosana (42) ketika ditemui di tempat latihan Dojo Kopo, Jln. Kopo Citarip Timur II No. 4, Kel. Situsaeur, Kec. Bojongloa, Kota Bandung.
Teknik yang diperkenalkan terbilang cukup sederhana. Misalnya, teknik mencubit yang benar, teknik menghindari tamparan, menyerang ketika dijambak, teknik menghadapi copet/jambret, teknik mengepalkan tangan agar lebih berkekuatan, dan teknik-teknik menghentikan tindakan pelecehan seksual yang kerap menerpa wanita.
Selain itu, para peserta diajari bagian anatomi tubuh manusia, terutama pria yang lemah dan sensitif jika dipukul atau dicubit. Jangan kira, bagian sensitif itu hanya ada di alat vital pria. Di beberapa bagian tubuh pria, sebenarnya banyak yang vital untuk dilumpuhkan. "Yang penting, dengan teknik ini kita bisa meminimalisasi akibat tindak kekerasan. Setelah bisa dilumpuhkan, larilah sekencang mungkin dan mencari pertolongan," tutur salah seorang instruktur, Eko Hendrawan (31).
Eko menjelaskan, sejak program WSDK dibuka untuk umum pada tahun 1997, pesertanya terus meningkat. Pada awalnya, peserta terbatas hanya anggota keluarganya yang perempuan. Kemudian, kepesertaan meluas hingga ke ibu-ibu rumah tangga di sekitar wilayah Kel. Situsaeur. "Terlebih, setelah kejadian pemerkosaan dan pembunuhan dua mahasiswi Stikes Cimahi itu, anggotanya makin banyak, dan sekarang membuka tempat-tempat latihan baru," ujarnya.
Peserta umumnya para wanita yang pernah menjadi korban tindak kekerasan, misalnya di terminal, di dalam angkot, di dalam bus kota, dan kekerasan dalam rumah tangga. "Ada seorang peserta yang sering kena pelecehan seksual waktu di dalam bus. Tiap kali itu terjadi, perempuan ini tidak berani melawan, hanya bisa nangis," katanya.
Oleh karena itu, para peserta tidak hanya diajari teknik. Bahkan, langkah pertama yang dilakukan yaitu memperkuat kepercayaan dirinya. Dari mulai curhat sesama peserta sampai meditasi pun dilatihkan. Tujuannya, wanita bisa tenang dalam menghadapi situasi apa pun. "Wanita juga harus pintar baca situasi ketika di tempat-tempat membahayakan," ucapnya.
Kepercayaan diri wanita rupanya menjadi fondasi yang diperkuat untuk menguasai teknik. Menurut salah seorang instruktur, Hj. Lia Nuryanti (33), para peserta pertama-tama diperkenalkan moto WSDK, yaitu "Lembut bukan berarti lemah, dalam kelembutan tersimpan kekuatan".
"Secara psikis, mereka diperkuat dulu. Setelah yakin dan percaya diri, kita perkenalkan tekniknya," ucap juara III dunia Karate Fight tahun 1997 itu. (Lina Nursanty/"PR")***
OLAH raga karate kental dengan aroma maskulinitas. Meski kini banyak atlet wanita, tetapi kesan angker terhadap olah raga ini masih lekat di benak wanita. Padahal, olah raga tersebut bisa melindungi wanita yang sering menjadi sasaran empuk tindakan kekerasan. Di tempat-tempat umum, kendaraan umum seperti angkot dan bus, di tempat kerja, bahkan di lingkungan rumah tangga. Kekerasan yang mengancam wanita itu berupa kekerasan fisik, pelecehan seksual, dan kekerasan psikis.
Tindak kekerasan yang paling menggemparkan di Bandung yaitu terbunuhnya dua mahasiswi Sekolah Tinggi Kesehatan (Stikes) Ahmad Yani, Cimahi oleh perampok dalam angkutan umum, pada tahun 2004.
Peristiwa itu memotivasi seorang Suhu Karate Kushin Ryu dari Kota Bandung, Sofyan Hamballi (59) melahirkan 10 gerakan praktis bagi wanita untuk membela diri dalam situasi mengancam.
Kesepuluh gerakan praktis ini dikembangkan dari gerakan-gerakan karate dan dinamai Women Self Defense Kushin Ryu (WSDK). Bedanya, teknik gerakan ini diperuntukkan bagi wanita yang belum pernah sama sekali memiliki keahlian teknik bela diri. Untuk menguasai 10 gerakan dasar ini, para wanita wajib mengikuti lima kali pelatihan praktis.
"Selama ini, wanita selalu diposisikan sebagai kaum lemah. Padahal, wanita punya banyak kelebihan. Ketika dia mendapat perlakuan tidak baik, biasanya hanya bisa menangis. Tetapi, dengan teknik ini kita diajarkan untuk berani," ujar salah seorang peserta WSDK, Eli Rosana (42) ketika ditemui di tempat latihan Dojo Kopo, Jln. Kopo Citarip Timur II No. 4, Kel. Situsaeur, Kec. Bojongloa, Kota Bandung.
Teknik yang diperkenalkan terbilang cukup sederhana. Misalnya, teknik mencubit yang benar, teknik menghindari tamparan, menyerang ketika dijambak, teknik menghadapi copet/jambret, teknik mengepalkan tangan agar lebih berkekuatan, dan teknik-teknik menghentikan tindakan pelecehan seksual yang kerap menerpa wanita.
Selain itu, para peserta diajari bagian anatomi tubuh manusia, terutama pria yang lemah dan sensitif jika dipukul atau dicubit. Jangan kira, bagian sensitif itu hanya ada di alat vital pria. Di beberapa bagian tubuh pria, sebenarnya banyak yang vital untuk dilumpuhkan. "Yang penting, dengan teknik ini kita bisa meminimalisasi akibat tindak kekerasan. Setelah bisa dilumpuhkan, larilah sekencang mungkin dan mencari pertolongan," tutur salah seorang instruktur, Eko Hendrawan (31).
Eko menjelaskan, sejak program WSDK dibuka untuk umum pada tahun 1997, pesertanya terus meningkat. Pada awalnya, peserta terbatas hanya anggota keluarganya yang perempuan. Kemudian, kepesertaan meluas hingga ke ibu-ibu rumah tangga di sekitar wilayah Kel. Situsaeur. "Terlebih, setelah kejadian pemerkosaan dan pembunuhan dua mahasiswi Stikes Cimahi itu, anggotanya makin banyak, dan sekarang membuka tempat-tempat latihan baru," ujarnya.
Peserta umumnya para wanita yang pernah menjadi korban tindak kekerasan, misalnya di terminal, di dalam angkot, di dalam bus kota, dan kekerasan dalam rumah tangga. "Ada seorang peserta yang sering kena pelecehan seksual waktu di dalam bus. Tiap kali itu terjadi, perempuan ini tidak berani melawan, hanya bisa nangis," katanya.
Oleh karena itu, para peserta tidak hanya diajari teknik. Bahkan, langkah pertama yang dilakukan yaitu memperkuat kepercayaan dirinya. Dari mulai curhat sesama peserta sampai meditasi pun dilatihkan. Tujuannya, wanita bisa tenang dalam menghadapi situasi apa pun. "Wanita juga harus pintar baca situasi ketika di tempat-tempat membahayakan," ucapnya.
Kepercayaan diri wanita rupanya menjadi fondasi yang diperkuat untuk menguasai teknik. Menurut salah seorang instruktur, Hj. Lia Nuryanti (33), para peserta pertama-tama diperkenalkan moto WSDK, yaitu "Lembut bukan berarti lemah, dalam kelembutan tersimpan kekuatan".
"Secara psikis, mereka diperkuat dulu. Setelah yakin dan percaya diri, kita perkenalkan tekniknya," ucap juara III dunia Karate Fight tahun 1997 itu. (Lina Nursanty/"PR")***
No comments:
Post a Comment